Kamis, 22 Januari 2015

TERAPI HERBAL UNTUK TSAUBAN HABIBULLAH

Puskesmas di wilayah Pemkot Jogja menyediakan layanan konsultasi Psikologi bagi yang membutuhkan. Karena kadang judeg menghadapi anak2, peluang itu aku manfaatkan. Lebih baik curhat pada pihak yang kompeten, daripada asal umbar cerita, takutnya buka aib sendiri. 2 tahun lalu dilakukan beberapa test sederhana bagi Tsa. Pada sesi melihat dan mencontoh gambar, ada sebuah bangun segi enam dan lingkaran yang berpotongan. Namun dia tidak dapat mencontoh dengan sempurna – karyanya tidak berpotongan, hanya berdampingan-. Aku ingat, bila dirumah biasanya Tsa menonton tivi dengan memelengkan sedikit kepala. Karena keluarga besar kami berkacamata minus, akhirnya ke dokter spesialis mata. Alhamdulillah hasilnya baik, dia tidak rabun jauh. Psikolog kemudian menyarankan agar kami berkonsultasi pada ahli bedah syaraf anak, mungkin dibutuhkan MRI. Bayangan panjang terapi membuat kami ciut hati, meski saran itu tidak diabaikan, namun belum juga kami laksanakan. 4 bulan lalu adiknya suami bercerita bahwa dia baru mengenal seorang pemijat yang mampu menyembuhkan penderita stroke. Beliau yang dimaksud adik ternyata adalah langganan kami, sejak bertahun lalu. Beliau adalah tempat pelarian bila ada anggota keluarga yang sakit –obat dokter tetep, pijat juga dilakukan-. Kisah yang disampaikan adik membuat kami yang saat itu lagi2 judeg ngehandle Tsa, segera membawanya pada beliau. Katanya, “Ada trauma di kepala, mungkin pernah terbentur, entah kapan, yang jelas dibanding kedatangan terakhir 6 bulan lalu, kondisinya menurun tajam.” Beliau menyarankan terapi herbal dengan masa pengobatan 2-3 bulan. Ketika kami menanyakan, “bagaimana bila dengan terapi pijat saja?”, dijawab,” hasilnya tidak akan maksimal”. Sabtu, 10 Jan 2015, 19 Rabiul awwal 1436H Sehari jelang milad Tsa ke 10, 20 Rabiul awwal 1436H. Tsa yang badannya hangat tidak masuk sekolah. Sempat bercerita kalau semalam setelah ngaji jatuh, tangannya sedikit sakit tapi masih bisa digerakkan. Setelah sarapan dan minum penurun panas, kuminta dia untuk istirahat: no tivi, no hp, no kompi. Jam setengah 10 dia mengeluh sakit perut, katanya beberapa hari ini pup nggak lancar. Keluhan semakin menjadi, badannya sampai terlonjak-lonjak menahan sakit. Karena tak pernah terjadi sebelumnya, segera kami larikan ke IGD terdekat. Suhu-nya 39,2 C. Diagnosa pertama: radang akibat pencernaan tidak lancar, diberi 3 obat: penurun panas, antibiotik dan obat untuk pencernaan. Jelang magrib. Setelah diseka, Tsa tertidur menungguku mengupaskan papaya. Dia sendirian di kamar sementara kami bertiga di ruang depan. Di tengah sholat sempat kudengar pekik perlahan, tapi sholat harus tetap berjalan. Tak sampai 5 menit dia kami tinggalkan, ketika kembali ke kamar kudapati dia terlentang, mripat membelalak ke atas, pandangan nanar. Syok, akupun menjerit memanggil ayahnya. Panikku menular cepat, Tsa yang kupeluk tangannya mulai mengepal, kaku. Bakda magrib, ke IGD lagi. Dokter dan perawat jaga menyampaikan bahwa kejang pertama di usia 10 tahun adalah sesuatu yang tidak biasa. Kemungkinan “arus listrik“ di otak tidak stabil, disarankan konsultasi ke dokter anak, untuk selanjutnya ke spesialis syaraf anak, EEG mungkin dibutuhkan. Suhu tubuh mulai turun, 38 koma sekian. Cek darah, hasil bagus. Obat ditambah anti kejang. Minggu, 11 Jan 2015 Meski terlihat lemas, makan minumnya lumayan, obatpun mudah masuk sesuai aturan dokter. Bahkan ketika Uti Wsb telpon, Tsa menjawab dengan lantang dan sedikit guyonan. Senin, 12 Jan 2015 Kakung Uti Wonosobo datang. Makan minum, asupan obat lumayan teratur. Suhu di kisaran 38 koma sekian. Tapi sering mengeluh bahu dan tangan kanan sakit. Selasa, 13 Jan 2015 Kondisi drop, sulit dipaksa makan dan minum, otomatis asupan obat juga kacau. Aku berusaha memberikan obat sesuai aturan, jeda tiap obat antara 4-8 jam. Bahkan meski 2 atau 3 obat dapat diberikan bersama-sama, tetap kuusahakan ada jeda meski 1 jam. Tsa yang jarang tersentuh obat jadi reaktif, ada yang bikin dia kedinginan, lain waktu mengeluh gerah hingga keringatan, bahkan pernah jantungnya berdetak cepat. Bakda Isya’, ke IGD lagi. Obat turun panas dimutahkan. Tangan sakit, tapi kata dokter jaga mungkin hanya memar dalam, karena kalau retak tidak dapat digerakkan. Saran hampir sama, ke dokter anak lanjut CT Scan. Cek darah lagi, meski kondisi menurun tapi tidak perlu rawat inap. Hanya ditambah persediaan turun panas dan vitamin. Rabu, 14 Jan 2015 Setengah sembilan pagi, Bismillah, pijet. Kemarin kami memang tidak berani ambil resiko, bila demam terlalu tinggi pijet sebaiknya di tunda. Tsa belum makan, hanya teh anget sedikit. Bekal roti dan minum kusiapkan, jaraknya lumayan jauh, 15 menit kalau lancar. Belum 100 meter meninggalkan rumah, Tsa sudah mau “berkicau”, Alhamdulillah. Sebelum sampai di tempat pijet, dia minta belok ke warung, beli biscuit. Pijet selesai, ternyata dari bahu hingga sepanjang tangan kanan sedikit terkilir. Kamipun ngobrol lagi tentang terapi herbal, dan sepakat secepatnya, selagi Tsa masih masa pertumbuhan. Beliau hanya berpesan untuk mengawasi pola makan, kurangi buah yang asam dan makanan pedas, dan beli obat asam lambung untuk anak. Dua hal yang belum terdeteksi dan teratasi secara medis: asam lambung yang tinggi dan terkilir. Di perjalanan pulang Tsa ditanya pingin makan apa, dan dijawab: Padang. Sembari menunggu lauk dibungkus,dia bilang kalau mripat buyer, susah melek, hendak pingsan. Langsung dia kusuruh duduk dan diberi minum. Sebenarnya ini bukan kejadian pertama, di sekolah pernah terjadi 2-3x, asam lambungnya naik, tapi dulu belum paham apa penyebabnya. Tanya sepupu yang perawat tentang obat pengontrol asam lambung yang aman bagi anak, ternyata dijual bebas. Antibiotik dari Dokter sudah habis, tinggal penurun panas dan anti kejang buat jaga-jaga.. Kamis,15 Jan 2015 Alhamdulillah Tsa semakin membaik. Jumat, 16 Jan 2015 Tsa sekolah lagi. Aku dan suami sempat ketemuan teman lama. Satu lagi dukungan untuk terapi herbal. Setelah Uti Wsb pulang (Kakung sudah duluan, Rabu, setelah Tsa pijet) kamipun berembug. Dengan pertimbangan banyak hal, termasuk diantaranya mumpung cuaca yang agak cerah, kami sepakat meluncur ke Barat Daya, memproses terapi herbal. Bismillah.

Selasa, 18 November 2014

bye bye

di tikungan itu dulu aku menunggumu
kala senja memerah darah
kala tanah segar basah

di tikungan itu dulu aku menunggumu
hingga malam menjelang
hingga kelam datang
kau tak jua tampak meski sekedar bayang

di tikungan itu dulu aku menunggumu

Demo oh Demo

Satu kilometer kurang, jelang perlintasan kereta api yang tengah ditutup. Antrian kendaraan mengular. Sepasang remaja di atas motor terbaru bercanda ria. Mobil pengangkut ayam dengan aroma khasnya. Seorang ibu hijaber, membonceng tiga anaknya, rona lelah sepenuh wajah. Bapak tua tampak kebingungan, hendak berbelok tapi tak bisa. Dahi penjaga perlintasan penuh keringat, cemas. Kereta yang ditunggu melintas begitu lama. Portal dibuka, antrianpun tertatih, bergerak lambat memenuhi perlintasan. Tuhan, sebaris doa sempat kulantunkan. Lindungi mereka hingga kereta berikutnya datang Tak cukup itu semua ternyata... macet, jalan ditutup, jalur diubah... Hilang waspada, sempat terhirup gas air mata, kala melintas di sekitaran kampus markas demonstran. Mata tersengat pedih, hidung bak menyedot bubuk merica. Wahai demonstran, sadarlah. Yang kalian celakakan itu rakyat jelata juga.

Baling-baling bambu

Subuh menjelang, rutinitas pagi menanti. Entah mengapa di atas dahi ini serasa ada baling-baling biru kecil berputaran. Aku merasa di dunia komik. Terhimpit diantara panel-panel tak berbentuk. Nyatakah ini, atau hayal tinggi semata?

Minggu, 16 November 2014

Tak Ada Kata Terlambat Untuk Memulai Sebuah Kebaikan

Blogku, apa kabar. Sekian lama dikau terabaikan. Baiklah ku mulai kembali dengan sebuah catatan ringan, kisah keseharian. Hari ini, dibuka dengan begitu banyak kekikukan. Dari form yang salah isian data2nya, paraf yang saling tidak mirip, hingga penanggalan berselisih sebulan. Banyak ketertinggalan, banyak ketidak disiplinan. Tangan tuk menulis terasa kaku karena jarang digunakan. Tidak fokus dan tidak sabar, nambah kisruh keadaan. Jadi ingat omongan seorang teman... alangkah ruginya bila imagi tidak dituangkan dan alangkah sesalnya bila pena dianggurkan, karena sesungguhnya banyak goresan indah bermanfaat dapat terciptakan.... Blogku, apa kabar. Semoga kini aku tak lalai lagi padamu, agar tak lalai pula pada sebagian eksistensi diri pribadiku.

Jumat, 07 September 2012

THE MASK aka GAKSITAL

Tamat sudah, sebuah drama tentang perjalanan hidup manusia2 dengan setting upaya invasi Jepang ke Korea. Cukup keren, dengan begitu banyak konflik batin aktor2nya... Teringatkan kembali bahwa hidup adalah sebuah pilihan, dan kemerdekaan tetaplah harus diperjuangkan, sekecil apapun peluang di atas kertas, terlebih bila menyangkut orang banyak, suatu bangsa. Konflik batin antar peran mengingatkanku pada penokohan dalam Ramayana, khususnya versi Hindi, bukan yang inteprestasi orang Jawa. Bahwa sesungguhnya bukan kesalahan Rahwana semata hingga menculik Sita, tetapi sesungguhnya diawali pengingkaran para dewa atas apa yang sesungguhnya telah menjadi haknya. Rama (mengingatkanku pada pendawa, yang juga mengorbankan istrinya dalam judi di bale si gala- gala). pemimpin yang tidak sempurna, lelaki yang lemah, ketika cobaan datang datang menyalahkan pihak lain, istri dan adik tak bersalah yang tak dipercayainya, yang berlindung di balik pengorbanan istri sendiri. Sita, sesungguhnya melakukan kesalahan fatal, tidak amanah pada rama, keluar dari lingkaran pengaman. karena itulah Rama sempat mencurigainya. Pembuktian kesucian dengan terjun ke tengah kobaran api merupakan harga yang harus dibayar, itupun belum cukup, kelak dia harus melahirkan dalam pembuangan. Laksmana, korban beda instruksi antara kedua kakaknya,tapi kesungguhannya dalam melayani patut diteladani. Kumbakarna, right or wrong is my contry... taklid butakah? mungkin tidak, karena kalau ditilik ke belakang Rahwana tak sepenuhnya salah. Wibisana (sesaat mengingatkanku pada sosok Karna)... tuluskah, atau opportunis, ah penghianat mungkin juga tepat, karena sosoknya yang bagai manusia mungkin membuatnya lupa bahwa sesunggunya dia tetaplah bangsa raksasa, dengan segala fitrah penciptaannya. Ibu tiri Rama, yang mengingatkanku pada sosok ibunda Kurawa, si kambing hitam yang sesungguhnya sekedar menjalankan perannya, hingga sesungguhnya tak layak bila ada yang mempertanyakan naluri keperempuannya.

seuntai padi

tidakkah kau perhatikan rumpun padi yang menguning itu... bahwa yang berdiri tegak kadang membuatmu tertipu, dengan segala kesombongannya, tampil mengemuka, sesungguhnya kosong belaka... sementara yang membungkuk tak tampilkan diri, sesungguhnya sarat bulir bernas, yang ingin kau tuai, yang kau tunggu hasil memeras otak dan keringatmu... karena sesungguhnya apa yang akan kau tuai berawal dari apa yang kau tanam dan bagaimana caramu merawatnya..............