Jumat, 02 Mei 2008

Dari Gelap Menuju Cahaya

Judul di atas memang terasa asing di telinga, tidak seakrab Habis Gelap Terbitlah Terang. Namun inilah yang dimaksud Kartini dengan "Door Duisternis Tot Licht". Kata-kata tersebut sering ditulis oleh Kartini kepada sahabat penanya Mr Abendanon sehingga dijadikan judul kumpulan surat-surat Kartini yang dibukukan. Kartini diilhami oleh terjemahan Al Quran Surat Al Baqarah ayat 257 bahwa Allah lah yang membimbing orang-orang beriman kepada cahaya atau dalam bahasa Arabnya “minzah zhulumaatil ilan nuur”.Mengapa Kartini mencari cahaya? Pencarian Kartini terhadap cahaya tidak lepas dari keadaan di jaman dahulu di tanah Jawa ini di mana dalam tradisi Jawa wanita kurang dihargai. Harkat dan bermartabat sangat diremehkan oleh kaum lelaki. Wanita tidak lebih dari pelengkap penderita, hanya dijadikan konco wingking, pelayan suami, tak ubahnya menjadi “budak nafsu”.Lepas dari itu, yang paling mendorong Kartini untuk melakukan “Pemberontakan” adalah pengalaman pahit di masa kecil. Pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca Al Quran). Ibu guru mengajinya memarahi Kartini ketika menanyakan makna dari kata-kata Al Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah penolakan pada diri Kartini. “Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899] “Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902] Namun rasa putus asa Kartini perlahan sirna ketika suatu saat dari balik tabir ia mendengar Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang menyampaikan pengajian bulan di rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Kartini tertarik pada materi pengajian yang disampaikan, yaitu tentang tafsir Al Fatihah. Begitu selesai acara pengajian Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya menemui sang guru “ngaji” itu dan akhirnya niat itu kesampaian. Hal yang langsung ditanyakan Kartini kepada sang kiai tentang bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya? Mendengar pertanyaan tersebut, Kiai Sholeh Darat tertegun. Dan akhirnya pun dialog antara Kartini dengan Kiai Saleh Darat terjadiSelama hidup Kartini sebagaimana pengakuannya di hadapan kiai, baru kali inilah (ketika itu –red) sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubarinya. Maka bukan buatan rasa syukur hati Kartini kepada Allah, namun perasaan heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia? Begitu lah rasa yang timbul dalam benak Kartini saat itu. Bagi Kiai Sholeh Darat pertemuannya dengan Kartini ternyata menimbulkan kesan tersendiri. Di hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al Quran berbahasa Jawa (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al Fatihah sampai dengan surat ), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mendalami Islam dengan sungguh-sungguh. Namun sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia. Seandainya saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al Quran) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam terhadap muslimahnya. Terbukti Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal kehanifan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukankah pada mulanya beliau paling keras menentang poligami, tapi kemudian setelah mengenal Islam, beliau dapat menerimanya. Saat mempelajari Al Islam lewat Al Quran terjemahan berbahasa Jawa itu, Kartini menemukan dalam surat Al Baqarah ayat 257 bahwa Allahlah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya. **Cita-cita Kartini Yang Sering Disalahartikan. Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 tentang cita-cita Kartini banyak disalah-mengerti. Kala itu itu Kartini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan. Bukan sekali-kali karena Kartini menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena Kartini yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. Inilah gagasan Kartini yang sebenarnya, namun kenyataannya sering diartikan secara sempit dengan satu kata: emansipasi. Sehingga setiap orang bebas mengartikan semaunya sendiri. Kesalahkaprahan terhadap pemaknaan emansipasi ketika akses terhadap pendidikan, hukum dan ekonomi/kesempatan kerja/karier sudah diperoleh, kadang emansipasi menjadi kedok eksploitasi yang tidak disadari perempuan. Fenomena globalisasi bukannya mencerdaskan perempuan, tetapi justru membuat perempuan ikut arus pasar dalam hal pola berpikir, cara berpakaian, hobi bahkan dalam pola mengasuh anak. Emansipasi bukan sekadar mengejar pendidikan sarjana atau selebihnya. Bukan sekadar bisa menduduki jabatan di birokrasi atau lembaga. Bukan sekadar berkarier demi jabatan, kedudukan dan uang. Dan bukan sekadar pula melepaskan tanggung jawab rumah tangga kepada pembantu. Emansipasi yang benar sebagaimana cita-cita Kartini, harusnya perempuan itu mampu mencerdaskan diri sehingga mengerti hak dan kewajibannya secara benar. Memiliki visi dan misi hidup yang jelas, penuh percaya diri akan kemampuannya. Sehingga menjadi manusia yang bermartabat dan disegani. Dan semua itu hanya bisa diraih dengan ilmu. ** Artikel pertamaku yang dimuat di koran, penyemangat kelika males moco nulis mikir

Tidak ada komentar: