Senin, 15 Juni 2009

1.779 SUARA BAGI YUNINGSIH PURWOASTUTI S.Sos.

Bagiku, sebenarnya politik bukan sesuatu yang benar-benar baru. Berasal dari komunitas Sospol UGM, bersuamikan seorang wartawan yang kepalanya pernah ditodong pistol polisi saat meliput sebuah bentrokan antara polisi dengan massa sebuah parpol di Jogja serta ditinggal untuk meliput peristiwa berdarah Semanggi II di Jakarta (padahal ketika itu kami masih pengantin baru, belum 40 hari), membuat percakapan kami sehari-hari tidak jauh dari situasi carut marutnya kondisi politik dan perekonomian bangsa. Suamiku, Mas Yuli (sekampus, dua tingkat diatasku) sebenarnya lebih dahulu terjun ke kancah politik dengan menjadi simpatisan sebuah partai, bahkan pada pemilu 1997 dia nyaris menjadi caleg.
Pada awal 2008 seorang kenalan dari DPP Partai Gerindra meminta bantuan suamiku untuk membentuk kepengurusan cabang di DIY. Karena ingin menjaga netralitas kewartawanannya dengan tidak terlibat politik praktis, akhirnya aku yang masuk partai, dengan menjadi Wakil Ketua DPC Gerindra Bantul. Dari sanalah keterlibatanku dengan politik praktis bermula.
Meski seorang wakil ketua namun aku relatif kurang aktif di kepengurusan. Aku hanya beberapa kali muncul di kantor DPC Bantul, selebihnya bersama suamiku melakukan berbagai lobi dengan rekan-rekan Gerindra di luar pertemuan resmi. Bahkan sampai saat inipun aku belum pernah melihat KTA ku, karena tidak kuurus sendiri.
Ketika ramai-ramai masa pencalegan, aku yang tidak berambisi menjadi anggota dewan semula santai-santai saja. Namun ketika kusadari bahwa peluang yang ada adalah sebentuk rizki dari Allah, maka aku memutuskan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Sempat bingung mau nyaleg dari mana, namun akhirnya kuputuskan menjadi caleg pusat, maju untuk kursi DPR RI dapil DIY. Ketika itu berbagai tanggapan muncul. Peraturan 30% minimal caleg perempuan membuat banyak pihak meremehkan karena beranggapan bahwa aku maju sekedar untuk memenuhi aturan itu. Tidak sepenuhnya salah memang, karena banyak orang tidak tahu posisiku di DPC Bantul dan peran suamiku di Gerindra Jogja. Semua itu tidak penting, karena bukankah yang penting adalah aksi dan bukannya saling klaim seperti yang dilakukan banyak orang selama ini? Heboh, pembenaran persepsi sendiri, padahal fakta-fakta lapangan tidak dikuasai.
Btw, banyak juga yang beranggapan bahwa itu adalah sesuatu yang keren. Keren? Menjadi caleg adalah suatu kesempatan yang langka dan bagi beberapa orang cukup prestisius. Ada beberapa rekan yang menyayangkan keputusan tersebut karena jangankan untuk maju di pusat, untuk tingkat kabupaten saja persaingannya sangat berat. Aku keukeuh. Aku tidak mau setengah-tengah dalam menjalani sesuatu yang baru. Aku merasa kompetibel - insyaallah - karena yakin bahwa Allah tahu apa yang terbaik bagi setiap hambaNya.
Proses pengurusan dokumen untuk pencalegan kujalani bersama-sama dengan suamiku yang pada saat sama maju nyalon anggota KPUD Bantul. Kemana-mana, bertiga dengan anakku yang ketiga, Tsauban 3,5 tahun, kami pontang panting dari rumah Kotagede ke berbagai instansi di Bantul dan sekitarnya. Karena carut marut aturan dari KPU, akhirnya beberapa dokumen yang kami persiapkan tidak terpakai. Buang waktu, tenaga dan uang saja. Untunglah ketika itu kami (aku dan suami) menjalaninya bersama-sama dan semua itu dalam rangka memenuhi kewajiban mahluk untuk menjemput rizki dariNya. Kalau tidak meluruskan niat mungkin sebelum semua urusan selesai sudah merasa lelah dan putus asa karena begitu banyak birokrasi yang harus dilalui.
Ketika masa kampanye tiba, aku yang sudah bertekad tidak akan mengeluarkan materi untuk kampanye, berusaha menahan setiap godaan yang datang. Aku mencoba bertahan karena sekali aku terbawa nafsu, tidak ada kata cukup dan berhenti. Tiga minggu sebelum hari pencontrengan tiba barulah aku mencetak kartu nama empat boks -400 lembar- dengan biaya seratus ribu rupiah. Itu adalah bentuk penghargaan kepada beberapa orang yang mendukungku, bukti bahwa aku sungguh-sungguh nyaleg. Ini terjadi karena banyak diantaranya tidak tahu nama lengkapku dan mereka sungkan untuk menanyakannya. Kartu nama tersebut dibagikan pada satu, dua kenalan dan saudara yang kebetulan bertemu. Aku memang kebangetan. Bahkan teman-temanku eks Str’91 pun tidak kuberi kabar kalau aku nyaleg.
Jangan dikira di rumahku ada atribut partai. Satu stiker kecilpun tidak ada, apalagi spanduk dan stok kaos yang menggunung. Bendera jatah dari pusat pun menguap entah ke mana, tak pernah sampai ke rumah. Hiruk pikuk kampanye tidak kualami, aku lebih banyak berdiam diri dan seolah tidak terlibat semua keramaian itu. Seorang rekan hanya tertawa kecil ketika kuibaratkan aku ini pemain bola, tapi aku lebih tertarik berdiri tepi lapangan mengamati permainan dan bukannya ikut main di lapangan.
Banyak sekali hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa ini. Aku belajar tentang bagaimana memaknai persahabatan, kesungguhan dalam mengemban amanah dan bahkan menyaksian berbagai penghianatan terhadap komitmen yang dibangun bersama. Selama menjadi caleg aku hanya muncul sekali di podium untuk menyampaikan uraian singkat tentang visi misi pencalonanku pada saat kampanye terbuka Partai Gerindra di Alun-alun Utara Jogja, yang dihadiri Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto beserta rombongan serta segenap pengurus dan caleg partai Gerindra se-Jogja serta lebih dari 10.000 simpatisan.
Aku terpaksa naik podium bersama Tsauban karena dia rewel dan tidak mau ditinggal di bawah bersama ayahnya. Hal ini sempat menjadi sorotan KPUD Jogja, namun karena anakku tidak mengenakan atribut partai maka hal tersebut dapat dimaklumi. Bagi seorang perempuan sekaligus ibu rumah tangga berperan di sektor publik terkadang memang lebih repot bila di banding laki-laki di sektor yang sama. Pembekalan yang diberikan kepada para caleg di Hotel Matahari Jogja tidak dapat kujalani dengan maksimal karena Tsauban tidak bisa kutitipkan dan suamiku harus bekerja di luar kota. Ketika Gerindra mengadakan pelatihan caleg di Cibubur dan Musyawarah Nasional di Jakarta akupun tidak ikut. Meskipun suamiku mengijinkan, berat rasanya meninggalkan anak-anak sampai berhari-hari. Sebenarnya aku juga sudah terbiasa berpisah dengan anak-anak, yaitu bila mereka pergi berlibur ke tempat neneknya. Bahkan dulu Rani kecil yang saat itu belum genap satu tahun pernah kutitipkan ibu Wonosobo selama 3 hari karena aku harus mengurus skripsiku di Jogja. Tapi meninggalkan rutinitas harian demi partai, bagiku bukan lah pengorban yang setimpal dengan risiko yang kutanggung. Aku, perempuan, pergi sendiri lebih dari 3 hari , tanpa muhrim, di lingkungan yang asing, ach rasanya aku malu pada Allah bila tetap nekat pergi.
Kembali ke pemilu, suara yang kuperoleh berdasar data resmi KPU Jogja. Hingga saat ini aku tidak tahu berapa angka yang keluar di KPU pusat, entah tambah atau bahkan berkurang banyak Aku tidak peduli. Aku tahu betapa kacaunya penyelenggaraan pemilu kali ini. Bagi beberapa kalangan suaraku yang menyebar rata, 1 sampai 3 suara hampir di setiap TPS se-DIY menimbulkan rasa heran yang sangat. Bagaimana mungkin, ditengah ketatnya persaingan antar caleg - tanpa kampanye lagi! - aku mendapat suara lumayan. Aku sendiri tidak terkejut, pun bangga karenanya. Biasa saja. Semua Allah yang mengatur dan aku bersyukur karenanya.

Tidak ada komentar: