Jumat, 21 Mei 2010

PEREMPUAN MEMILIH.....

Aku baru saja diberi tahu suami bahwa ada berita di sebuah media.com tentang 3 orang gadis yang menawarkan keperawanannya. Kata pertama yang keluar dari mulutku adalah ”bodoh”. Ya, betapa bodohnya orang yang percaya bahwa mereka still virgin. Kalo mereka emang masih orisinal kayaknya gak bakalan dech mereka ngiklanin diri kayak gitu. Apalagi di jaman ini ketika issu keperawanan dapat diakali, entah operasi reparasi maupun penggunaan alat bantu pada perempuan hingga bila terjadi hubungan badan terciptalah noda merah itu.

Aku jadi ingat serial drama mandarin ”putri huan zhu”. Ketika sang putra mahkota terpaksa menikah lagi karna istri pertama tak jua memberi kturunan, maka sebagai bukti pengantin baru telah bersebadan, darah yang terpecik di secarik kain putih yang akan dipamerkan kepada para tetua berasal dari darah jari pengantin perempuan yang sengaja dilukai guna mendapat percikan keramat itu... sebuah kebohongan yang manis, jalan keluar bagi sistem yang berlaku saat itu.

Hanya orang berpikiran picik yang dengan naif menuntut orisinalitas perempuan sementara kebanyakan laki tlah melewatkan waktu dengan meniduri beberapa perempuan lain sepanjang kehidupannya.

Aku yang berusaha memandang segala sesuatunya dengan logika, pernah bikin pernyataan yang sulit di terima orang sekitarku. Bahwasanya kutak peduli apapun yang tlah dilakukan orang yang kelak kupilih sebagai suamiku di masa lalunya, selagi semua itu tak berbekas, dia tidak mengidap penyakit kelamin. Mengapa syarat ini pentimg? Tentu saja semua karna ini karna pertimbangan faktor regenerasi. Siapapun tak ingin punya anak tak sempurna bukan semata karna pemberian Tuhan apa adanya tapi lebih karena kesalahan orang tua. Kalaupun ternyata aku mendapat calon suami yang relatif baik (merokok pun dia tak pernah) ini adalah karunia Tuhan terhadapku, setimpal dengan nilaiku di mataNya.

Banyak prinsipku lain yang sulit diterima teman yang kebetulan aktivis gender: aktualisasi diri nggak harus dengan kerja, aku ingin jadi ibu rumah tangga biasa dan tidak menentang poligami. Menurut mereka ini adalah pandangan yang kontras dengan kebiasaanku berteman dekat dengan beberapa pria selagi tak ada kominten apapun di sana. Ya bagiku HTS (hubungan tanpa status) ataupun TTM (teman tapi mesra) adalah pilihan tepat, karena kami toh dalam kondisi menilai dinilai, sehingga tak masalah bila menjalani semua itu. Karena bukan tipe penghianat jalan itu yang dulu kupilih agar tak menyalahi ataupun merugikan siapapun.

Sebenarnya semua ini refleksi dari egoku yang memandang bahwa diluar pernikahan yang syah hubungan antara laki perempuan adalah setara. Bukankah tidak fair namanya bila perempuan hanya menunggu diapeli di malam minggu, sementara si pria bebas mendekati perempuan lainnya di saat pun tempat yang berbeda? Permainan lelaki itu kuikuti dengan kesadaran penuh. Sakit happy, jatuh bangun kunikmati karena akulah pengendalinya. Bak bermain layangan, angin memang bisa jadi faktor penganggu, tapi selama aku bermain cantik, tahu dengan pasti kapan saat menarik dan kapan saat mengulur benang pun kapan saat tepat untuk memulai permainan atau untuk mengakhirinya, aku tetap akan selamat.

Aku juga tak pernah memandang tabu seorang perempuan yang memberi sinyal pun menanyakan apakah pria yang disukainya juga memiliki pandangan sama. Selagi semua itu dilakukan dengan cara halus dan bijak, aku yakin takkkan ada yang direndahkan atau merendahkan diri di sini. Bukankah perempuan juga berhak tahu ke arah mana suatu hubungan yang terjalin menuju. Apakah stagnan sampai di sini, ada kemajuan ke arah lebih dari pertemanan atau kesan pertama tak seindah kenyataan, waktu berlalu kwalitas hubungan justru mundur?

Ketika akhirnya kutemukan pria yang dalam kondisi apapun membuatku merasa nyaman, kuputuskan untuk segera meresmikannya. Ya, hubungan kami lebih didasari pencarian ”soulmate” meski tentu saja tak menampik ada faktor asmara di sana. Tlah terbiasa kami dengan jatuh bangun merasakan debaran asmara yang menguras emosi dan membuat jiwa lelah. Saatnya berlabuh pada dermaga kecil yang nyaman, dengan riak kecil mendamaikan, tanpa cemburu curiga berlebihan. Kepercayaan terbagun terjaga tanpa rekayasa, mengalir dengan kesadaran bahwa untuk sampai ke tujuan tidak boleh ada peluang untuk penghianatan. Tak ada rahasia dalam perkawinan kami, apapun bisa kami diskusikan, sharing jiwa dan badan.

Sebelumnya banyak pihak yang menyakan ulang keseriusan kami untuk segera menikah. Kondisi saat itu dianggap belum tepat, aku belum klar skul dan masku baru mulai bekerja. Banyak teman menanyakan keseriusanku memasuki mahligai pernikahan ”Pye, apa kamu dah bener2 siap, dengan tanggungan skripsimu, memanage gaji suamimu tanpa deposit lain, pun hidup dengan mertua dan 4 orang adik ipar yang notabene background keluarganya berbeda denganmu?”

Bismillah aku siap. Kan kujalani semua ini, karena kuyakin ini yang terbaik, kuluruskan niat semata karena Tuhan dan kuserahkan semua kehidupanku kepadaNya, karna dia yang memberiku kehidupan dan pasti Dia pula penjaga terbaik bagiku. Hatiku terasa ringan memasuki pernikahan itu. Mengapa? Mungkin karena aku sama sekali tidak menafikan kemungkinan terjadinya perceraian pun poligami dalam perkawinanku nanti. Semua kuserahkan padaNya tugasku hanyalah menjalankan semua ini sebaik mungkin mengikuti tuntunanNya.

Kesungguhan bertindak dan kepercayaan total pada sang penjaga kehidupan membuat kehidupan pernikahanku terasa nikmat. Kutemukan kedamaian di sana, meski secara materi mungkin dipandang orang tak sesuai dengan pendidikan kami. Hidup ini indah bila manusia berhati indah.....

Tidak ada komentar: