Senin, 19 Desember 2011

MEMUDARNYA BUDI PEKERTI DI MASYARAKAT



By: Asal-asalan

Seorang pelajar bercelana panjang putih, baju putih dengan badge SMP Muhammadiyah dengan yak-yakan mengendarai mio melintas di depanku. Sembari menengok kanan kiri, begitu masuk aspal jalan raya Wonosari – Jogja, pelajar usia belasan itu tancap gas ke arah Kota Jogja. Aku tak tahu, ada apa kok si pelajar itu tanpa tata karma sopan santun yak-yakan. Saat itu, aku bersama temanku Iwan sedang berdiri bercakap-cakap soal warung makan yang cocok untuk dibuka di tempat itu. Melihat ulah anak muda itu, aku berguman dengan Iwan “Bocah jaman sekarang itu memang do ra duwe toto kromo tenan. Naik motor, yak-yakan sakkarepe wudhele dewe,” colethehku di hadapan Iwan yang berdiri di tepi mulut gang kampong Wiyoro, Baturetno, Banguntapan, Jalan Raya Wonosari – Jogja.
‘Sudah biasa pak, anak-anak siswa SMP Wiyoro sini kalau naik motor ugal-ugalan. Bahkan kemarin, puluhan anak SMP melintas jalan sini konvoi melintas jalan kampong sambil digembor-gemborkan knalpotnya. Ya gimana lagi. Namanya, anak muda. Bukankah kita dulu juga pernah jadi bocah, tho pak?” Iwan menimpali celothehanku. Ngeeennng….tiba-tiba seorang pemuda berboncengan melintas dari arah yang sama melintas. Anak muda itu juga tergopoh-gopoh tidak bisa menahan emosinya. “Mas, weruh cah SMP naik motor boncengan,” ujar si pemuda bercelana pendek mengendarai motor Yamaha RX King berujar kepada Iwan. “Ooo ke sana (dengan jari telunjuk menunjuk belok kiri, arah barat jalan Wonosari – Jogja),” jawab Iwan sembari berguman “ben wae bocah yak-yakan numpak motor di kampong.” Ndrunnngggg….kendaran motor bebek dikendarai pemuda kampong lainnya membuntuti pemuda berkendaraan RX King tadi. “Koncoku mau mlayu (mengendarai kendaraan dengan cepat) kemana,” begitu si pemuda itu menanyakan arah laju teman yang mengendarai motor di depannya. “Ono opo cah?” tanya Iwan penasaran lagi. Berhenti sejenak sambil menjawab pertanyaan Iwan “Bocah kuwi numpak motor bi ya yaan nabrak wong kampong nganti,” jawab anak muda itu kepada Iwan.
Ucapku kepada Iwan, Apa bisa ketangkap si anak muda berbaju seragam SMP Muhammadiyah itu. Karena dia mengendarai motornya dengan kencang. “Ketangkap, Pak. Karena gak begitu kencang kok, tadi saya lihat. Apalagi yang mengejar si A tadi yang sudah ahli mengendarai RX King, motor yang bisa kencang,” Iwan menyahut pertanyaanku. Tiba-tiba dari arah timur jalan Raya Wonosari sebuah mobil polisi bertuliskan Polsek Banguntapan, dengan lampu emergency kelap-kelip tanpa sirine menyala melintas ke arah Jogja. Bersamaan itu, dari arah barah melintas seorang anggota polisi lalu lintas memboncengkan seorang siswa berseragam SMP Muhammadiyah yang tak lain orang muda yang melintas di depan tanpa menunjukkan sikap sopan yang sedang dikejar dua pemuda beberapa saat sebelumnya.
“Woow i ya je Wan. Tertangkap. Paling dia ketangkap di perempatan Ketandan saat berhenti di lampu traffigh light oleh polisi karena tak pakai helm,” kataku kepada Iwan. Ngeri juga. Pemuda yang mengejar si anak SMP itu ternyata membawa batu sebesar kepalan tangan. Jangan-jangan batu itu dibawa pemuda untuk menimpuk kepala si anak SMP. Bisa benar, bisa juga salah. Karena ini hanya asumsiku alias belum ada fakta yang menunjukkan luka timpukan darah.
Masih berdiri di tepi jalan mulut gang jalan raya tersebut, aku melanjutkan percakapan dengan Iwan. Namun jika awal perkapan itu topiknya masalah usaha warung yang cocok untuk konsumen di Jalan Wonosari tersebut. Namun kini obrolannya, seputar perilaku anak muda sekarang. Dalam percakapan dengan Iwan, aku mengatakan terkadang merasa khawatir dengan kondisi jaman sekarang yang penuh dengan kenakalan remaja. Lha gimana lagi, “AKu itu juga mempunyai anak yang sudah beranjak muda je. Satu cewek, dua cowok. Sementara jaman sekarang itu jelas, norma, etika, tata karma, sudah banyak ditinggalkan. Orang tua tak serius mengajarkan budi pekerti karena sibuk dengan urusan duit, atau masalah dunia lainya. Di sekolah pun begitu. Guru tak serius mendidik anak menjadi manusia baik,” ujar berujar kepada Iwan.
Kata Iwan, betul juga ya Pak. Tapi, kata Iwan lagi, jaman sekarang memang serba sulit. Tuntutan hidup sekarang mengharuskan orang untuk materialistis alias moto duiten. “Lha, saiki kuwi opo-opo mung nganggo duit. Makan duit, sekolah duit, kerja duit, ngurus KTP duit, kencing duit, pokoke serba duit,” timpal Iwan lagi. Tak bisa dipungkiri lagi. Fenomena materialisme telah membelenggung seluruh masyarakat. Tolak ukurnya, semua hanya materi bukan kejujuran, kebaikan, kebenaran, tanggungjawab, keadilan serta apa lagi yang sifatnya luhur sebagaimana para pendahulu kita terdahulu.
Ya, itulah akibat kebebasan, demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini tanpa dilandasi nilai agama yang benar. Memang sejak reformasi ini semua serba bebas, atas nama demokrasi. Tapi, kenyataannya, masyarakat tidak makin makmur, tidak makin sejahtera, tidak makin cerdas, tidak makin baik. Justru sebaliknya, makin kacau, makin buruk. Orang baik, jujur, bertanggungjawab menjadi makhluk langka. Yang menawarkan kebaikan dan kejujuran justru ditolak. Penipuan, pembohongan malah mudah diterima. Rakyat sekarang sepertinya lebih percaya pada penipu, pembohong. “Lho, ini nyata Wan. Aku yang insya Allah jujur, tanggungjawab, transparan, kalau menawarkan kerja sama usaha atau bisnis malah dipaido je. Begitu pula koncoku sing duwe watak apik, jujur juga tak dipercaya. Orang sepertinya lebih suka ditipu (senajan akhirnya itu juga menyesal). Sekali lagi ini fakta. Kalau ditawari sesuatu yang sebenarnya hanya mengibul malah tergiur,” kataku kepada Iwan.
Tapi apa selamanya masyarakat akan begini, yo Pak? Demikian Iwan melontarkan kalimat lagi kepadaku. Menurutku, ini semua tergantung para pemimpin dan penguasa di Negara. Kendati rakyat Indonesia juga banyak yang tidak beres dalam perilakunya, namun semua itu akibat ulah politisi, pemimpin, penguasa yang selalu egois, mementingkan diri sendiri, mementingkan golongannya. Meraih tahta kekuasaan dengan menghalalkan cara walau selalu dibalut dengan bumbu agama. Karena yang bermain atau berkuasa itu uang, maka jadinya begini. “Jangan berharap negeri ini jadi makmur, sejahtera, sukses masyarakatnya, kalau caranya masih dengan menghalalkan cara, masih mengandalkan uang untuk mencapai tujuan, masih berorientasi uang dalam tiap langkahnya,” aku bertutur lagi.
Yang paling bagi kita yang dibawah, Pak Iwan, yang penting tidak mengikuti jejak kejelekan dan kemaksiatan para pemimpin atau masyarakat lainnya. Kalau memang anda tetap percaya pada kemaksiatan, kemungkaran, menolak kebaikan dan keadilan, siap-siap saja menghadapi murka Allah.
Obrolan saat itu makin ngeladrah saja. Awalnya hanya bicara ringan soal rencana bisnis kuliner memanfaatkan los kecil nganggur di tepi Jalan Wonosari itu. Ada pembicaraan soal menu gudeg kering khas Jogja, warung bakso, warung susu segar hingga managemen waktu yang akan dijalani. “Lama-lama panas juga Pak. Kaki pun makin capai berdiri. Piye, kalau kita ke dalam sambil ngopi karo macit,” ajak Iwan kepadaku. Tentu saja capai. Ternyata gak terasa ngobrol ngalor ngidul sudah menghabiskan waktu lebih dari satum jam karena jam tangan sudah menunjukkan pukul 09.00. “Lho, ternyata lama juga. Ok,” jawabku mengiyakan tawaran Iwan.
Seorang perempuan dengan tangan memegang baki di atasnya berisi dua cangkir datang dari dalam rumah. Berpakaian babi dol berjalan perlahan menuju meja tamu depan dekat etalase tempat jualan dan persewaan busana temanten dan adat nusantara. “Mas, Yuli ngopi dulu. Masak sejam lebih berdiri di tepi jalan. Panas lagi,” perempuan berambut pendek, ibu seorang anak yang tidak lain adalah istri Iwan itu menyilahkan ku menikmati sajian kopi Sumatranya.
“Wow, mantap. Ok,” celethohku menyahut tawaran sang tuan rumah. Dua cangkir kopi disajikan di atas meja. Tak lama kemudian kopi itu, ditemani kletikan krupuk gendar (kerupuk berbahan baku nasi). Kepulan asap tipis keluarga dari cangkir kopi itu. Rupanya, air kopi itu disajikan dengan air yang baru saja mendidih. “Ayo Pak diminum. Mumpung masih panas,” Iwan menyilahkan ku menikmati kopi. “Siap!,” ucapan spontanku sembari langsung menyantap cangkir kopi itu. “Wow, luar biasa. Joss gandoz ki. Enak, tenan. Langsung kemepyar ki. Bar kepanasen, langsung disodok kopi panas. Muannntappp. Kopi darimana je Wan,” komen ku sesaat usai menyeruput kopi panas. Kopi sedap itu kata Iwan ternyata petikan asli perkebunan Palembang oleh-oleh Istrinya usai pulang kampong beberapa bulan lalu.
“Saat ini yang namanya amar makruf nahi mungkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemaksiatan), sepertinya sudah tidak jalan. Nyatanya, kehidupan sekarang acak-acakan. Hampir, bisa dibilang semua pejabat saat ini korup. Kalau masih ada yang bersih, paling Cuma satu dua dari seribu pejabat atau pegawai negeri,” ucapku di sela menikmati kopi pagi. Guruku KH Muhammad Fuad Riyadi dalam majelis ilmu beberapa hari lalu menyampaikan hadist Rasulullah SAW bahwa kalau suatu masa dimana orang sudah tidak mau lagi memerintahkan berbuat baik, dan tidak mau lagi mencegah orang berbuat njahat atau maksiat, maka tunggu saja kehancurannya.
“Sekarang itu aneh lho, Wan. Jadi pejabat kok malah sujud syukur. Itu namanya terbalik. Jabatan itu kata Kiai ku amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia maupun Allah. Jadi kalau tak bisa mengemban amanah dengan mengajak berbuat baik dan mencegah kejahatan, itu akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau di akhirat nanti pasti dihajar habis-habisan. Paling tidak jadi pejabat itu bisa memberi contoh berbuat baik dalam perilakunya.” ***

Tidak ada komentar: