Jumat, 30 Desember 2011

MENGAPA GUNAKAN KEKERASAN ?

Yuliantoro Harian Jogja, Kamis 29-12-2011. Tindakan represif aparat polisi dalam menangani unjuk rasa terjadi lagi. Belum tuntas kecaman publik terhadap polisi dalam menangani kasus Mesuji (Lampung), Sabtu 24 Desember 2011, polisi melakukan kekerasan dalam membubarkan unjuk rasa Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Dengan brutal ratusan Brimob dan Polres setempat membubarkan paksa massa Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) yang berunjuk rasa menduduki pelabuhan tersebut. Akibat tindakan tersebut, dua orang tewas dan puluhan luka-luka.
Apapun alasannya, semua bentuk kekerasan tidak pernah dibenarkan karena melanggar hak asasi mansusia (HAM). Kekerasan merupakan tindakan pendholiman, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Kecaman pun kembali terjadi. Wakil rakyat, tokoh masyarakat, LSM semua mengutuk represi aparat keamanan polisi dalam menangani demonstrasi rakyat.
Dalam konteks ini, polisi memang sangat patut dikecam, dihujat dan ditekan. Karena tindakan kekerasan polisi ini bukan kali ini saja. Berkali-kali aparat polisi selalu saja mengedepankan kekerasan fisik ngawur kepada pelaku unjuk rasa. Barangkali kita semua akan heran, mengapa polisi selalu melakukan kekerasan, kebrutalan, dalam menegakkan hukum padahal berkali-kali dikecam? Bukankah kekerasan adalah tindakan amoral? Mengapa harus menggunakan cara kekerasan? Apakah tidak ada cara lain yang lebih bermoral, manusiawi? Yang pasti represif kekerasan menghasilkan penderitaan baru bagi semua pihak.
Faktanya selama ini polisi yang nota bene bagian dari penegak hukum, keadilan, mengayom masyarakat, namun berkali-kali tindakannya justru tidak menenteramkan dan membuat damai masyarakat. Aneh lagi, tiap kali melakukan tindakan yang melanggar HAM, aparat polisi selalu resisten membela diri. Walaupun kekerasan telah disaksikan masyarakat, kepolisian selalu saja mengklaim pihaknya benar. Aparat selalu saja mengatakan semua sudah sesuai dengan prosedur yang benar sesuai ketentuan perundang-undangan. Pengakuan kesalahan akan terjadi dengan terpaksa karena kecaman dan hujatan bertubi-tubi.
Memang polisi pun manusia biasa yang kadang salah dan lalai. Di lapangan, mereka juga bisa takut bahkan panik sehingga perilakunya menjadi sebatas fight atau flight untuk sekadar menyelamatkan diri. Keletihan sekaligus ledakan kondisi psikologis menjadi faktor yang bisa memicu tindak represif seorang personel polisi. Namun kalau kelalaian itu terjadi berulang-ulang dalam bentuk yang sama, perlu dipertanyakan.
Apapun alasannya kesewenang-wenangan (kekerasan) dalam menangani aksi unjuk rasa tidak dibenarkan. Fakta menunjukkan bahwa kekerasan adalah tindakan melawan hokum, tidak professional yang akan memunculkan masalah baru yang lebih berat. Kesewenang-wenangan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Seharusnya penegakkan hukum, penertiban dilakukan dengan cara yang tidak melawan hukum. Bagaimana pun, polisi tidak bisa seenaknya mengumbar peluru dan sembarang melakukan tindakan brutal atas dasar penegakkan hukum. Tindakan represif aparat kepolisian dalam menghadapi unjuk rasa rakyat selama ini berlebihan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Terlebih dalam kasus Bima dan Mesuji (Lampung), sesungguhnya negara tidak dalam keadaan bahaya oleh pengunjuk rasa, tetapi negara tidak berdaya dalam cengkeraman tuan-tuan pemilik modal. Perlawanan rakyat dalam memperjuangkan haknya tidak akan membahayakan kedaulatan Negara.
Sudah menjadi keharusan tanpa alasan, polisi hadir untuk menjaga ketertiban umum, memberikan rasa aman dan memberikan perlindungan terhadap warga. Sehingga dalam situasi apapun bahkan konflik sekalipun, polisi harus tetap memberikan perlindungan kepada rakyat. Perilaku polisi sebagai aparat negara jangan bermental centeng bagi pemilik modal atau kekuasaan.
Kepolisian sebagai aparat penegak hukum, harus bertanggungjawab. Mengusut dan mengadili semua aparat yang terlibat kekerasan dan penembakan harus dilakukan segera. Namun yang paling penting lagi, aparat kepolisian juga harus dievaluasi apakah saat menghadapi rakyat harus membawa senapan serbu. Evaluasi penggunaan senjata harus segera dilakukan. Dengan senjata api berpeluru tajam, penanganan konflik akan selalu berujung kekerasan. Belajarlah dengan kepolisian London dimana ketika itu komandan polisi London melihat anak buahnya sudah berlaku sedemikian represif. Maka para komandan pun menarik dan menyimpan semua senjata api polisi itu.
Polisi harus belajar menyelesaikan unjuk rasa dengan dialog dengan semangat keadilan dan kemanusiaan, bukan dengan kekerasan dan menggunakan senjata api. Polisi juga harus paham tentang kebenaran, keadilan, moralitas dan kemanusiaan. Pembiaran terhadap perilaku brutal polisi dalam menangani berbagai kasus, cepat atau lambat akan menimbulkan amarah rakyat.
Yang tak kalah pentingnya, negara harus mengusut tuntas kekerasan yang terus berulang. Benturan rakyat dengan polisi tak lain akibat kekerasan negara yang jelas menunjukkan karakter dari kekuasaan. Negara dan pemerintah jangan tuli terhadap suara masyarakat. Pemerintah selalu terlambat dalam merespon keresahan dan roblematikan masyarakat. Pemerintah dan Negara selalu menunggu rakyat marah. Dalam berbagai persoalan rakyat selalu dipinggirkan, disalahkan dan dikalahkan penguasa pemerintah.
Terakhir, bisakah kedepan aparatur pemerintah melakukan pembenahan yang lebih manusiawi, bermoral dan professional dalam setiap menangani persoalan masyarakat? Semua tergantung niat baik masing-masing individunya. So pasti, penyelesaian masalah tanpa mengedepankan prinsip keadilan, moralitas dan kemanusiaan hanya akan menyimpan bom waktu kemarahan dan kekerasan. Kekerasan tak akan pernah menciptakan ketenteraman dan kedamaian.

Tidak ada komentar: