Jumat, 30 Desember 2011

MENGAPA GUNAKAN KEKERASAN ?

Yuliantoro Harian Jogja, Kamis 29-12-2011. Tindakan represif aparat polisi dalam menangani unjuk rasa terjadi lagi. Belum tuntas kecaman publik terhadap polisi dalam menangani kasus Mesuji (Lampung), Sabtu 24 Desember 2011, polisi melakukan kekerasan dalam membubarkan unjuk rasa Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Dengan brutal ratusan Brimob dan Polres setempat membubarkan paksa massa Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) yang berunjuk rasa menduduki pelabuhan tersebut. Akibat tindakan tersebut, dua orang tewas dan puluhan luka-luka.
Apapun alasannya, semua bentuk kekerasan tidak pernah dibenarkan karena melanggar hak asasi mansusia (HAM). Kekerasan merupakan tindakan pendholiman, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Kecaman pun kembali terjadi. Wakil rakyat, tokoh masyarakat, LSM semua mengutuk represi aparat keamanan polisi dalam menangani demonstrasi rakyat.
Dalam konteks ini, polisi memang sangat patut dikecam, dihujat dan ditekan. Karena tindakan kekerasan polisi ini bukan kali ini saja. Berkali-kali aparat polisi selalu saja mengedepankan kekerasan fisik ngawur kepada pelaku unjuk rasa. Barangkali kita semua akan heran, mengapa polisi selalu melakukan kekerasan, kebrutalan, dalam menegakkan hukum padahal berkali-kali dikecam? Bukankah kekerasan adalah tindakan amoral? Mengapa harus menggunakan cara kekerasan? Apakah tidak ada cara lain yang lebih bermoral, manusiawi? Yang pasti represif kekerasan menghasilkan penderitaan baru bagi semua pihak.
Faktanya selama ini polisi yang nota bene bagian dari penegak hukum, keadilan, mengayom masyarakat, namun berkali-kali tindakannya justru tidak menenteramkan dan membuat damai masyarakat. Aneh lagi, tiap kali melakukan tindakan yang melanggar HAM, aparat polisi selalu resisten membela diri. Walaupun kekerasan telah disaksikan masyarakat, kepolisian selalu saja mengklaim pihaknya benar. Aparat selalu saja mengatakan semua sudah sesuai dengan prosedur yang benar sesuai ketentuan perundang-undangan. Pengakuan kesalahan akan terjadi dengan terpaksa karena kecaman dan hujatan bertubi-tubi.
Memang polisi pun manusia biasa yang kadang salah dan lalai. Di lapangan, mereka juga bisa takut bahkan panik sehingga perilakunya menjadi sebatas fight atau flight untuk sekadar menyelamatkan diri. Keletihan sekaligus ledakan kondisi psikologis menjadi faktor yang bisa memicu tindak represif seorang personel polisi. Namun kalau kelalaian itu terjadi berulang-ulang dalam bentuk yang sama, perlu dipertanyakan.
Apapun alasannya kesewenang-wenangan (kekerasan) dalam menangani aksi unjuk rasa tidak dibenarkan. Fakta menunjukkan bahwa kekerasan adalah tindakan melawan hokum, tidak professional yang akan memunculkan masalah baru yang lebih berat. Kesewenang-wenangan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Seharusnya penegakkan hukum, penertiban dilakukan dengan cara yang tidak melawan hukum. Bagaimana pun, polisi tidak bisa seenaknya mengumbar peluru dan sembarang melakukan tindakan brutal atas dasar penegakkan hukum. Tindakan represif aparat kepolisian dalam menghadapi unjuk rasa rakyat selama ini berlebihan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Terlebih dalam kasus Bima dan Mesuji (Lampung), sesungguhnya negara tidak dalam keadaan bahaya oleh pengunjuk rasa, tetapi negara tidak berdaya dalam cengkeraman tuan-tuan pemilik modal. Perlawanan rakyat dalam memperjuangkan haknya tidak akan membahayakan kedaulatan Negara.
Sudah menjadi keharusan tanpa alasan, polisi hadir untuk menjaga ketertiban umum, memberikan rasa aman dan memberikan perlindungan terhadap warga. Sehingga dalam situasi apapun bahkan konflik sekalipun, polisi harus tetap memberikan perlindungan kepada rakyat. Perilaku polisi sebagai aparat negara jangan bermental centeng bagi pemilik modal atau kekuasaan.
Kepolisian sebagai aparat penegak hukum, harus bertanggungjawab. Mengusut dan mengadili semua aparat yang terlibat kekerasan dan penembakan harus dilakukan segera. Namun yang paling penting lagi, aparat kepolisian juga harus dievaluasi apakah saat menghadapi rakyat harus membawa senapan serbu. Evaluasi penggunaan senjata harus segera dilakukan. Dengan senjata api berpeluru tajam, penanganan konflik akan selalu berujung kekerasan. Belajarlah dengan kepolisian London dimana ketika itu komandan polisi London melihat anak buahnya sudah berlaku sedemikian represif. Maka para komandan pun menarik dan menyimpan semua senjata api polisi itu.
Polisi harus belajar menyelesaikan unjuk rasa dengan dialog dengan semangat keadilan dan kemanusiaan, bukan dengan kekerasan dan menggunakan senjata api. Polisi juga harus paham tentang kebenaran, keadilan, moralitas dan kemanusiaan. Pembiaran terhadap perilaku brutal polisi dalam menangani berbagai kasus, cepat atau lambat akan menimbulkan amarah rakyat.
Yang tak kalah pentingnya, negara harus mengusut tuntas kekerasan yang terus berulang. Benturan rakyat dengan polisi tak lain akibat kekerasan negara yang jelas menunjukkan karakter dari kekuasaan. Negara dan pemerintah jangan tuli terhadap suara masyarakat. Pemerintah selalu terlambat dalam merespon keresahan dan roblematikan masyarakat. Pemerintah dan Negara selalu menunggu rakyat marah. Dalam berbagai persoalan rakyat selalu dipinggirkan, disalahkan dan dikalahkan penguasa pemerintah.
Terakhir, bisakah kedepan aparatur pemerintah melakukan pembenahan yang lebih manusiawi, bermoral dan professional dalam setiap menangani persoalan masyarakat? Semua tergantung niat baik masing-masing individunya. So pasti, penyelesaian masalah tanpa mengedepankan prinsip keadilan, moralitas dan kemanusiaan hanya akan menyimpan bom waktu kemarahan dan kekerasan. Kekerasan tak akan pernah menciptakan ketenteraman dan kedamaian.

Selasa, 20 Desember 2011

GUS JAKFAR


Cerpen: Gus Mus





Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."

"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'

'Kiai Tawakkal.'

'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'

"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!"

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.

'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'

Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.

'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.'

Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

Rembang, Mei 2002

Senin, 19 Desember 2011

MEMUDARNYA BUDI PEKERTI DI MASYARAKAT



By: Asal-asalan

Seorang pelajar bercelana panjang putih, baju putih dengan badge SMP Muhammadiyah dengan yak-yakan mengendarai mio melintas di depanku. Sembari menengok kanan kiri, begitu masuk aspal jalan raya Wonosari – Jogja, pelajar usia belasan itu tancap gas ke arah Kota Jogja. Aku tak tahu, ada apa kok si pelajar itu tanpa tata karma sopan santun yak-yakan. Saat itu, aku bersama temanku Iwan sedang berdiri bercakap-cakap soal warung makan yang cocok untuk dibuka di tempat itu. Melihat ulah anak muda itu, aku berguman dengan Iwan “Bocah jaman sekarang itu memang do ra duwe toto kromo tenan. Naik motor, yak-yakan sakkarepe wudhele dewe,” colethehku di hadapan Iwan yang berdiri di tepi mulut gang kampong Wiyoro, Baturetno, Banguntapan, Jalan Raya Wonosari – Jogja.
‘Sudah biasa pak, anak-anak siswa SMP Wiyoro sini kalau naik motor ugal-ugalan. Bahkan kemarin, puluhan anak SMP melintas jalan sini konvoi melintas jalan kampong sambil digembor-gemborkan knalpotnya. Ya gimana lagi. Namanya, anak muda. Bukankah kita dulu juga pernah jadi bocah, tho pak?” Iwan menimpali celothehanku. Ngeeennng….tiba-tiba seorang pemuda berboncengan melintas dari arah yang sama melintas. Anak muda itu juga tergopoh-gopoh tidak bisa menahan emosinya. “Mas, weruh cah SMP naik motor boncengan,” ujar si pemuda bercelana pendek mengendarai motor Yamaha RX King berujar kepada Iwan. “Ooo ke sana (dengan jari telunjuk menunjuk belok kiri, arah barat jalan Wonosari – Jogja),” jawab Iwan sembari berguman “ben wae bocah yak-yakan numpak motor di kampong.” Ndrunnngggg….kendaran motor bebek dikendarai pemuda kampong lainnya membuntuti pemuda berkendaraan RX King tadi. “Koncoku mau mlayu (mengendarai kendaraan dengan cepat) kemana,” begitu si pemuda itu menanyakan arah laju teman yang mengendarai motor di depannya. “Ono opo cah?” tanya Iwan penasaran lagi. Berhenti sejenak sambil menjawab pertanyaan Iwan “Bocah kuwi numpak motor bi ya yaan nabrak wong kampong nganti,” jawab anak muda itu kepada Iwan.
Ucapku kepada Iwan, Apa bisa ketangkap si anak muda berbaju seragam SMP Muhammadiyah itu. Karena dia mengendarai motornya dengan kencang. “Ketangkap, Pak. Karena gak begitu kencang kok, tadi saya lihat. Apalagi yang mengejar si A tadi yang sudah ahli mengendarai RX King, motor yang bisa kencang,” Iwan menyahut pertanyaanku. Tiba-tiba dari arah timur jalan Raya Wonosari sebuah mobil polisi bertuliskan Polsek Banguntapan, dengan lampu emergency kelap-kelip tanpa sirine menyala melintas ke arah Jogja. Bersamaan itu, dari arah barah melintas seorang anggota polisi lalu lintas memboncengkan seorang siswa berseragam SMP Muhammadiyah yang tak lain orang muda yang melintas di depan tanpa menunjukkan sikap sopan yang sedang dikejar dua pemuda beberapa saat sebelumnya.
“Woow i ya je Wan. Tertangkap. Paling dia ketangkap di perempatan Ketandan saat berhenti di lampu traffigh light oleh polisi karena tak pakai helm,” kataku kepada Iwan. Ngeri juga. Pemuda yang mengejar si anak SMP itu ternyata membawa batu sebesar kepalan tangan. Jangan-jangan batu itu dibawa pemuda untuk menimpuk kepala si anak SMP. Bisa benar, bisa juga salah. Karena ini hanya asumsiku alias belum ada fakta yang menunjukkan luka timpukan darah.
Masih berdiri di tepi jalan mulut gang jalan raya tersebut, aku melanjutkan percakapan dengan Iwan. Namun jika awal perkapan itu topiknya masalah usaha warung yang cocok untuk konsumen di Jalan Wonosari tersebut. Namun kini obrolannya, seputar perilaku anak muda sekarang. Dalam percakapan dengan Iwan, aku mengatakan terkadang merasa khawatir dengan kondisi jaman sekarang yang penuh dengan kenakalan remaja. Lha gimana lagi, “AKu itu juga mempunyai anak yang sudah beranjak muda je. Satu cewek, dua cowok. Sementara jaman sekarang itu jelas, norma, etika, tata karma, sudah banyak ditinggalkan. Orang tua tak serius mengajarkan budi pekerti karena sibuk dengan urusan duit, atau masalah dunia lainya. Di sekolah pun begitu. Guru tak serius mendidik anak menjadi manusia baik,” ujar berujar kepada Iwan.
Kata Iwan, betul juga ya Pak. Tapi, kata Iwan lagi, jaman sekarang memang serba sulit. Tuntutan hidup sekarang mengharuskan orang untuk materialistis alias moto duiten. “Lha, saiki kuwi opo-opo mung nganggo duit. Makan duit, sekolah duit, kerja duit, ngurus KTP duit, kencing duit, pokoke serba duit,” timpal Iwan lagi. Tak bisa dipungkiri lagi. Fenomena materialisme telah membelenggung seluruh masyarakat. Tolak ukurnya, semua hanya materi bukan kejujuran, kebaikan, kebenaran, tanggungjawab, keadilan serta apa lagi yang sifatnya luhur sebagaimana para pendahulu kita terdahulu.
Ya, itulah akibat kebebasan, demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini tanpa dilandasi nilai agama yang benar. Memang sejak reformasi ini semua serba bebas, atas nama demokrasi. Tapi, kenyataannya, masyarakat tidak makin makmur, tidak makin sejahtera, tidak makin cerdas, tidak makin baik. Justru sebaliknya, makin kacau, makin buruk. Orang baik, jujur, bertanggungjawab menjadi makhluk langka. Yang menawarkan kebaikan dan kejujuran justru ditolak. Penipuan, pembohongan malah mudah diterima. Rakyat sekarang sepertinya lebih percaya pada penipu, pembohong. “Lho, ini nyata Wan. Aku yang insya Allah jujur, tanggungjawab, transparan, kalau menawarkan kerja sama usaha atau bisnis malah dipaido je. Begitu pula koncoku sing duwe watak apik, jujur juga tak dipercaya. Orang sepertinya lebih suka ditipu (senajan akhirnya itu juga menyesal). Sekali lagi ini fakta. Kalau ditawari sesuatu yang sebenarnya hanya mengibul malah tergiur,” kataku kepada Iwan.
Tapi apa selamanya masyarakat akan begini, yo Pak? Demikian Iwan melontarkan kalimat lagi kepadaku. Menurutku, ini semua tergantung para pemimpin dan penguasa di Negara. Kendati rakyat Indonesia juga banyak yang tidak beres dalam perilakunya, namun semua itu akibat ulah politisi, pemimpin, penguasa yang selalu egois, mementingkan diri sendiri, mementingkan golongannya. Meraih tahta kekuasaan dengan menghalalkan cara walau selalu dibalut dengan bumbu agama. Karena yang bermain atau berkuasa itu uang, maka jadinya begini. “Jangan berharap negeri ini jadi makmur, sejahtera, sukses masyarakatnya, kalau caranya masih dengan menghalalkan cara, masih mengandalkan uang untuk mencapai tujuan, masih berorientasi uang dalam tiap langkahnya,” aku bertutur lagi.
Yang paling bagi kita yang dibawah, Pak Iwan, yang penting tidak mengikuti jejak kejelekan dan kemaksiatan para pemimpin atau masyarakat lainnya. Kalau memang anda tetap percaya pada kemaksiatan, kemungkaran, menolak kebaikan dan keadilan, siap-siap saja menghadapi murka Allah.
Obrolan saat itu makin ngeladrah saja. Awalnya hanya bicara ringan soal rencana bisnis kuliner memanfaatkan los kecil nganggur di tepi Jalan Wonosari itu. Ada pembicaraan soal menu gudeg kering khas Jogja, warung bakso, warung susu segar hingga managemen waktu yang akan dijalani. “Lama-lama panas juga Pak. Kaki pun makin capai berdiri. Piye, kalau kita ke dalam sambil ngopi karo macit,” ajak Iwan kepadaku. Tentu saja capai. Ternyata gak terasa ngobrol ngalor ngidul sudah menghabiskan waktu lebih dari satum jam karena jam tangan sudah menunjukkan pukul 09.00. “Lho, ternyata lama juga. Ok,” jawabku mengiyakan tawaran Iwan.
Seorang perempuan dengan tangan memegang baki di atasnya berisi dua cangkir datang dari dalam rumah. Berpakaian babi dol berjalan perlahan menuju meja tamu depan dekat etalase tempat jualan dan persewaan busana temanten dan adat nusantara. “Mas, Yuli ngopi dulu. Masak sejam lebih berdiri di tepi jalan. Panas lagi,” perempuan berambut pendek, ibu seorang anak yang tidak lain adalah istri Iwan itu menyilahkan ku menikmati sajian kopi Sumatranya.
“Wow, mantap. Ok,” celethohku menyahut tawaran sang tuan rumah. Dua cangkir kopi disajikan di atas meja. Tak lama kemudian kopi itu, ditemani kletikan krupuk gendar (kerupuk berbahan baku nasi). Kepulan asap tipis keluarga dari cangkir kopi itu. Rupanya, air kopi itu disajikan dengan air yang baru saja mendidih. “Ayo Pak diminum. Mumpung masih panas,” Iwan menyilahkan ku menikmati kopi. “Siap!,” ucapan spontanku sembari langsung menyantap cangkir kopi itu. “Wow, luar biasa. Joss gandoz ki. Enak, tenan. Langsung kemepyar ki. Bar kepanasen, langsung disodok kopi panas. Muannntappp. Kopi darimana je Wan,” komen ku sesaat usai menyeruput kopi panas. Kopi sedap itu kata Iwan ternyata petikan asli perkebunan Palembang oleh-oleh Istrinya usai pulang kampong beberapa bulan lalu.
“Saat ini yang namanya amar makruf nahi mungkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemaksiatan), sepertinya sudah tidak jalan. Nyatanya, kehidupan sekarang acak-acakan. Hampir, bisa dibilang semua pejabat saat ini korup. Kalau masih ada yang bersih, paling Cuma satu dua dari seribu pejabat atau pegawai negeri,” ucapku di sela menikmati kopi pagi. Guruku KH Muhammad Fuad Riyadi dalam majelis ilmu beberapa hari lalu menyampaikan hadist Rasulullah SAW bahwa kalau suatu masa dimana orang sudah tidak mau lagi memerintahkan berbuat baik, dan tidak mau lagi mencegah orang berbuat njahat atau maksiat, maka tunggu saja kehancurannya.
“Sekarang itu aneh lho, Wan. Jadi pejabat kok malah sujud syukur. Itu namanya terbalik. Jabatan itu kata Kiai ku amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia maupun Allah. Jadi kalau tak bisa mengemban amanah dengan mengajak berbuat baik dan mencegah kejahatan, itu akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau di akhirat nanti pasti dihajar habis-habisan. Paling tidak jadi pejabat itu bisa memberi contoh berbuat baik dalam perilakunya.” ***

RAIHLAH SUKSES DAGANG DENGAN JUJUR



By: Yuliantoro

KH Zainal Abidin, Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta dalam suatu khotbah Jumat pernah mengatakan berdagang itu harus jujur. Jangan suka mengurangi timbangan. Dua kalimat simple di atas seperti sangat simple. Namun bila kita renungi dengan seksama, maknanya sangat dalam. Ada pesan moral yang disampaikan kepada kita semua, terutama mereka yang bergelut dalam perdagangan atau jual beli.
Berdagang memang mudah. Semua orang bisa menjalankannya. Namun jual beli yang mengedepankan etika, nilai, aturan atau norma-norma kebaikan sehingga mampu memberikan kepuasan antara pedagang dan konsumen (pembeli), bukan hal mudah. Di jaman sekarang, kebanyakan orang berdagang asal berdagang. Hanya mementingkan keuntungan diri sendiri alias egois. Sementara kepentingan konsumen yaitu kepuasan dalam pelayanan maupun kepuasan mendapatkan produk barang dan jasa seringkali diabaikan. Produsen dalam hal ini pihak pedagang (penjualan) seringkali rakus, asal jual, cenderung membohongi, dalam menawarkan produk barang jasanya. Yang dipentingkan oleh pihak produsen hanya bagaimana caranya mengeksploitasi konsumen demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Karena perilaku produsen seringkali demikian, akibatnya konsumen pun tidak menghargai produsen dengan melakukan penawaran produk barang jasa yang ditawarkan tanpa etika pula. Kebanyakan perilaku konsumen sekarang melakukan penekanan harga terhadap produsen dengan serendah-rendahnya hingga produsen mendapatkan keuntungan selimit-limitnya. Model perilaku perdagangan atau jual beli tersebut mengakibatkan terjadinya pesaingan tidak sehat dan saling eksploitasi. Sistem jual beli tersebut tidak saling menguntungkan dan tidak saling memberikan kemanfaatan antara konsumen dan produsen. Sepintas perilaku perdagangan tersebut, bisa memberikan keuntungan besar bagi pihak produsen yang mampu melakukan kelicikan atau kebohongan. Begitu pula bagi konsumen yang mampu melakukan eksploitasi sepintas bisa meraup untung besar akibat persaingan bebasnya. Namun pada hakekatnya, perdagangan tanpa mengindahkan nilai, etika, norma-norma serta aturan dagang tidak akan memberikan kemanfaatan dan kepuasan pada produsen maupun konsumen. Semua akan merugi. Pada akhirnya kerusakanlah yang akan terjadi.
Lantas bagaimana system perdagangan (jual beli) yang baik yang mampu memberikan kemanfaatan bagi semua pihak (konsumen dan produsen? Islam memperbolehkan berdagang atau jual beli sebagai salah satu jalan menjemput rejeki Allah. Allah berfirman, "...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS 2:275). Rasullah SAW bersabda sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang. Namun untuk mendapatkan keuntungan atau yang mampu memberi kemanfaatan bagi umat manusia (barokah), tentunya ada kaidah-kaidah atau adab yang harus dipenuhi baik sebagai pedagang (produsen) maupun adab sebagai pembeli (konsumen).
Kaidah pertama yang pertama dan penting untuk disimak adalah niat. Dalam konteks Islam, semua amalan harus didasari oleh nawaitu yang benar. Karena tugas utama manusia hidup di dunia ini hanya semata-mata mengabdi atau beribadah, tentunya niat awal dalam perdagangan pun juga semata-mata untuk mencari ridlo Allah. Segala sesuatu kalau diniatkan untuk ibadah, mencari pahala untuk akhirat, Insya Allah kalau mendapatkan hasil bisa dinikmati dengan enak, menyenangkan dan jika tidak mudah kecewa bila tidak sesuai dengan keinginan yang didapat,
Begitu pun dalam konteks universal. Niat jual beli atau perdagangan hendaknya untuk memberikan kemanfaatan bagi umat manusia (produsen maupun konsumen), menciptakan keseimbangan ekonomi, menumbuhkan perdagangan sehat demi menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Berdagang hendaknya jangan diniatkan untuk menimbum harta, menumpulkan harta untuk kepentingan pribadi (rakus).
Tahapan berikut setelah niat sebagai dalam perdagangan, adab berikutnya adalah jujur. Seorang pedagang wajib jujur, tidak mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak ingkar janji, tidak berbohong dalam menawarkan dagangan atau barang dan jasa. Rasulullah SAW adalah pedagang handal, sukses karena dalam jual beli selalu amanah, tidak mengecewakan orang (konsumen). Terhadap barang atau jasa Rasulullah mengatakan apa adanya. Misalnya jualan kain, katakana apa adanya kelebihan dan kekurangannya. O… kain ini terbuat dari bahan ini dan itu, pewarnanya pakai bahan itu sehingga kealitasnya bagus. Kain ini masih utuh, mulus, tidak cacat dan sebagainya. Rasulullah tidak pernah mengatakan yang buruk menjadi baik atau mencampuradukan sesuatu yang baik dengan yang buruk. Karena kejujurannya itu maka konsumen Rasulullah merasa puas dengan dagangannya. Semua pedagang di waktu itu mengakui bahwa Rasulullah adalah pedagang yang jujur, tidak pernah merugikan konsumen karena itulah Rasulullah dijuluki bergelar Al Amien.
Berdagang hendanya mengedepankan ihsan atau menjalankan perdagangan dengan memepertimbangkan aspek kemaslahatan dan keberkahan dari Allah SWT. Berjualan barang atau jasa hendaknya jangan semata-mata mencari untuk materi saja, melainkan juga mencari keuntungan non materi. Memuaskan orang lain, memberikan kemanfaatan bagi orang lain merupakan keuntungan non materi yang bisa membawa keberkahan dalam kehidupan.
Hal penting berikutnya yang harus menjadi pegangan bagi pedagang adalah tekun. Perdagangan hendaklah dilakukan dengan tekun dan bersunguh-sungguh agar berkembang maju. Kesuksesan seseorang ditentukan oleh ketekunan dan kesabaran karena tidak ada sesuatu keberhasilan dengan tiba-tiba. Ketekunan, kesabaran secara kentinue, konsisten adalah proses yang harus dilalui dalam kehidupan di dunia ini, termasuk dalam sukses perdagangan. Cara-cara berdagang dengan menuruti hawa nafsu, tergesa-gesa, banyak berangan-angan hanya akan membawa kegagalan. Sukses datang secara bertahap, perlahan tapi pasti. Perlu diwaspadai terjadi kesuksesan yang tiba-tiba karena bisa menjatuhkan diri. Hikmah yang bisa diambil dari sebuah proses perdagangan karena kesuksesan berdagang memerlukan sikap mental yang benar dan tangguh.
Adab berikutnya adalah menjauhi perkara yang haram. Penjual hendaklah menjauhi perkara yang haram selama menjalankan pernigaan. Contohnya menipu dalam timbangan, menjalankan muamalat riba, dan menjual barang yang diharamkan. Jual beli sesuatu yang haram tidak akan pernah membawa kebahagiaan dan kemulian dunia akhirat. Tidak ada kebahagiaan di balik keharaman, terutama bagi orang Islam. Kesuksesan, kebahagiaan dibalik keharaman hanya semua, pada saatnya pasti akan berubah menjadi kehancuran, petaka yang dahsyat terhadap dirinya sendiri.
Berdagang hendaknya harus bisa saling melindungi, saling memberi kepuasan. Penjual dan pembeli hendaklah saling melindungi hak masing-masing. Contohnya penjual memberikan peluang yang secukupnya kepada pembeli untuk melihat pilihan ketika hendak membeli sesuatu barang. Hindari pemaksaan terhadap konsumen atas barang dan jasa yang kita perdagangkan. Dengan landasan adab dan etika dalam berdagang, yakinlah kesuksesan bisa diraih dengan sempurna, tidal mensisakan kemudhoratan atau kesusahan. Kehancuran system perdagangan tidak adanya kejujuran, perilaku perdagangan yang saling melindungi, saling menguntungkan, menhalalkan secara cara, meninggalkan etika sopan santun. Perdagangan yang berkembang selama ini hanya didasarkan pada kerakusan, saling mendzolimi, saling menipu, saling paksa.
Secara singkat adab bisnis atau berdagang:
1. Tidak ada unsur penipuan di dalamnya.
2. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.
3. Memberikan hak pembatalan bagi pembeli jika merasa tertipu
4. Tidak boleh menjelekkan bisnis saudaranya, agar orang lain membeli kepadanya.
5. Barang yang dibeli harus jelas wujudnya.
6. Pedagang dan pembeli harus berlapang dada.
7. Segera melunasi tunggakan yang menjadi tanggungannya.
8. Memberi tenggang waktu apabila pengutang belum mampu membayarnya.
9. Bisnis tidak boleh mengganggu aktivitas seorang muslim dalam taat kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya.

Selasa, 13 Desember 2011

sl 13 12 2011

Seorang pemimpin seharusnya bersungguh-sungguh mendahulukan kepentingan mereka yang dipimpinnya, berusaha membahagiakan dan mensejahterakan, serta membawa mereka pada kebaikan.

Allah mengharamkan pemimpin yang menipu masyarakat dari harum surga, kecuali bila telah cukup penebusan dosanya di neraka.

Sabtu, 10 Desember 2011

ilmu, akal, pembeda manusia dengan mahluk lain ciptaanNya... membuat malaikat sujud hormat, mengakui keutamaan adam dan jin mengelak, tak lagi taat padaNya...


ilmu, hiasan terindah bagi pemiliknya...
ilmu, penunjuk jalan kebenaran sejati...

kemuliaan seseorang tergantung pada tingkat ilmu dan pengamalannya...

zuhud

zuhud... sering kudengar kata itu... makanan jiwa... tak perduli seberapa miskin atau super kaya, tetap dalam syukur... kesenangan sejati bukanlah kini, kehidupan kekal justru setelah mati...

sugih vs kere

umumhe wong ki yen srawung milih2, sugih di parani, kere dikipati.....kamangka miturut pangendikane kanjeng nabi gebyaring donya iku ora sejati... ajining diri gumantung resiking ati lan roso tresno marang sepodopodho........
S

prasangka

prasangka ooh prasangka... atas dasar apa kau menuduh aku bertindak sekeji itu... apa yang kau tahu tentang aku, seorang perempuan yang mencoba taat pada kehendak suami, mendahulukan dia dan anak2 di atas segalanya terkecuali Allah, Rasul dan para kekasihNya?... bahkan Hakim Maha Agung itu tidak pernah menghakimi, kecuali aku dalam kesesatan yang nyata.........

Firman Allah: Aku seperti prasangka hambaKu terhadapKu

lah manusia: aku menilaimu dengan sempitnya akalku, butanya hatiku dan tulinya pendengaranku... so kalau seringkali aku bertindah cuex, so what gitu loh!
Toh kalian tak tahu tak pernah mau tahu apa isi kelapa dan hatiku.......
mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap manusia, tua muda, laki pun perempuan. ilmu yang wajib diketahui adalah semua yang berhubungan langsung dengan aktivitas keseharian, berkenaan dengan tata cara beribadah, khususnya.

bagi seorang muslim misalnya, dia minimal wajib tahu rukun Iman dan rukun Islam dan mengaplikasikannya dalam hidup keseharian. kata tahu di sini berarti terus berproses hingga akhirnya paham apa hakikat dari k2 dua rukun tersebut, sebagai dasar dari amal yang hendak dikerjakan.

secara universal, tiap orang dituntut paham hak dan kewajibannya sebagai seorang individu maupun sebagai anggota masyarakat. secara profesional, adanya pembagian kerja menuntut agar masing2 individu paham dengan bidang yang digelutinya, memperkecil resiko kerja dan dapat mengoptimalkan potensi diri.