Rabu, 19 Agustus 2009

MENGGAPAI KEBAHAGIAAN SEJATI DUNIA AKHIRAT

“Barang siapa yang menginginkan dunia,
hendaknya ia menguasai ilmu;
barang siapa yang menginginkan akhirat,
hendaknya ia menguasai ilmu;
dan barang siapa yang menginginkan keduanya,
hendaknya ia menguasai ilmu juga.” (al-Hadis)

By: Yuliantoro
Tulisan ini memang sengaja saya awali dengan pertanyaan. Mengapa krisis moral terjadi di mana-mana? Mengapa krisis ekonomi terjadi tak kunjung usai? Mengapa penyakit hati merebak di masyarakat? Mengapa ketidaktenteraman makin menjadi-jadi? Mengapa perasaan tidak aman terus menghinggapi manusia di Indonesia umumnya, dan masyarakat sekitar pada khususnya? Mengapa kesulitan hidup makin tidak menentu? Dan mengapa segala sesuatu yang berhubungan dengan keduniawian makin tidak membuat kenyamanan dalam hidup? Jawaban dari semua ini adalah hubbundunya (kecintaan manusia terhadap dunia) makin menghinggapi jiwa manusia.
Sudah selalu terbukti bahwa segala sesuatu yang bertolak ukur pada semangat materialistis (keduniaaan) pada akhirnya tidak pernah membuat manusia menjadi tenang, tenteram, damai dan bahagia. Namun, orientasi hidup manusia yang ditujukan kepada kehidupan akhirat (pahala/mencari rindlo Allah) selalu ber-ending dengan kedamaian, ketenteraman, kesejukan, dan ketenangan.
Orientasi hidup untuk menggapai pahala sebagai bekal kehidupan akhirat setelah mati, menjauhkan manusia dari iri dengki, kesombongan, keserakahan, kemurkaan, kekejaman, kekerasan, dan segala sifat buruk manusia yang merugikan manusia lain. Berpedoman pada kehidupan akhirat membuat manusia memiliki kepribadian, percaya diri, memiliki prinsip dan harga diri yang ujungnya membawa pada kehidupan manusia yang beradab. Karena semua sifat buruk tersebut, merupakan syarat mutlak yang harus dihindari untuk menggapai kehidupan akhirat yang bahagia. Dalam Al Quran Allah menjanjikan kehidupan akhirat itu penuh dengan kedamaian, ketenteraman, kebahagiaan, kenyamanan serta keindahan abadi.
Sebaliknya orientasi kehidupan yang bertumpu pada materialisme dan harta benda dunia, kenyataan berakhir dengan kekacauan, keresahan, kekhawatiran, serta segala ketidaknyamanan dalam kehidupan. Ketika orang meneriakkan politik sebagai panglima, endingnya ya huri hura dan kekacauan politik yang membuat rakyat/masyarakat sengsara. Ketika ekonomi menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan, nyatanya yang terjadi justru kesulitan hidup, ketidaktenteraman, kekhawatiran, serta ketidakdamaian dalam hidup.
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia/Negara maupun masyarakat segera mengubah paradigma kehidupan dari pikiran materialistis (orientasi uang) menjadi orientasi pahala (akhirat untuk menggapai akhirat). Bekerjalah dengan semangat untuk mencari pahala Allah, bukan untuk kepentingan uang. Rejeki itu sudah ketetapan Allah. Sekeras apapun kerja seseorang dalam mengejar materi (uang) kalau memang bukan menjadi rejeki tidak akan tercapai. Sebaliknya, sesantai apapun (bukan malas) manusia dalam bekerja kalau memang sudah menjadi ketetapan ya akan tercapai dengan baik.

Tidak ada komentar: